You are here: Home > Uncategorized > Pain

Pain

16_4_orig

Aku terpuruk bersandar pada batas pagar atap. Aku sendiri. Menghabiskan senja hari ini dalam kesunyian.

Tanganku menggenggam satu gelas coklat panas yang sekarang telah mendingin. Uap panasnya sudah terhapus oleh semilir angin dingin senja itu. Aku tak meminumnya. Hanya sekedar membeli untuk mengenangmu, ya itu adalah minuman kesukaan dia. Hanya coklat panas biasa dan tidak ada tambahan tapping lain atau semacamnya.

Semuanya berantakan. Kondisi mental dan batinku semua nya sudah sangat berantakan, itu hanya dikarenakan dirimu seorang. Terlalu banyak serpihan kenangan yang kau titipkan. Terlalu banyak goresan-goresan yang tajam dan nyata. Dan tanpa aku pedulikan, sekarang goresan itu sudah menjadi luka lebar dan menganga. Aku telah hancur.

Aku menatap perban yang menggulung tangan kiriku. perban yang menutupi goresan yang masih terlihat samar di permukaan kulitku. Jalan fikiranku memang terlalu pendek dan melupakan segala resiko yang kuterima karena apa yang kulakukan.

Aku menyesap sedikit coklat cair dari cup plastik yang kupegang. Rasanya sama. Pahit. Tak semanis dulu, saat aku meminumnya bersamamu. Aku melempar cup yang masih berisi coklas itu ke tanah dengan penuh emosi. Memandang kosong ke arah cup itu.

Ada sebuah suara pelan terlintas, “Mengapa kau tak menyusulnya saja?”

Aku menyinggungkan senyum licik, mengambil sebuah silet yang kutemukan disana. Benar, akan lebih baik aku menyusulnya.

Aku menggoreskan silet tersebut ke luka sebelumnya yang masih belum kering. Aku menatap kosong darah yang sudah mengalir banyak itu.

“Kita akan bertemu, sayang. Aku mencintaimu”

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Leave a Reply